Cari Blog Ini

Jumat, 18 November 2016

SYOK ANAFILAKTIK

                                                   LAPORAN PENDAHULUAN


A.      DEFINISI
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Shock is a multisystem disorder that involves inadequate tissue perfusion and altered metabolism. Anaphylactic shock is a potentially life-threatening situation. It is the result of an exaggerated or a hypersensitivity response to an antigen (or allergen).(Pamela L. Swearingen, Manual of Critical Care Nursing, Hal.624).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).

B.       ETIOLOGI
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
1.      Anafilaksis (melalui IgE)
a.          Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
b.          Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
c.          Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
d.          Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
e.           Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
2.      Zat pelepas histamin secara langsung :
a.         Obat (opiat, vankomisin, kurare)
b.         Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
c.         Obat lain (dekstran, flouresens)
d.         Aktivasi komplemen
e.         Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
f.          Bahan dialisis
g.         Modulasi metabolisme
h.         Asam asetilsalisilat
i.            Antiinflamasi nonsteroid

C.      PATOFISIOLOGI
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen  terhadap sistem imun yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a.         Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b.        Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c.         Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d.        Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e.         Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.

D.      MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
1.    Umum                     : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
2.    Prodormal               : Rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung
                                  dan Palatum.
3.    Pernapasan :
a.    Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b.     Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
c.    Lidah : edema
d.   Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
4.     Kardiovaskuler  pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar,          terbalik, atau tanda-tanda infark miokard
5.    Gastrointestinal :  disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.
6.    Kulit   urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas
7.    Mata  gatal, lakrimasi
8.    Susunan saraf  pusat :   gelisah, kejang

E.       PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
1.         Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
2.         Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
3.         Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
4.         Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
5.         Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .

F.       PENATALAKSANAAN
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
a.         Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b.         Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
1.    Sistem pernapasan
a.    Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah  melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
b.    Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun pada kardiovaskular.
c.     Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat  diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.


2.    Sistem Kardiovaskular
a.    Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
b.    Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
c.    Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang  bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
d.   Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1)        Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
2)        Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1dangan AH2 bekerja secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
3)        Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)

G.      KOMPLIKASI
Komplikasinya meliputi :
1.        Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
2.        Bronkospasme persisten
3.        Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
4.        Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
5.        Kerusakan otak permanen akibat syok.
6.        Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7.        Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).





H.      PATHWAYS
Description: C:\Users\compaq\Pictures\WOC ANAFILATIK.jpg


I.         KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1.         Pengkajian
a.         Primary Survey
1)        Airway
a)         Pengkajian
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema pada laring. Hidung terasa gatal, bersin hingga tersumbat. serta adanya batuk, dan bunyi mengi. Ditemukan edema pada lidah.
b)        Diagnosa
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
c)         Intervensi
Ø Kaji frekuensi kedalaman upaya bernapas..
R/ untuk mengetahui kemampuan ekspirasi inspirasi pasien.
Ø Buka jalan napas dengan headtill dan chinlift.
R/ Membantu pembukaan jalan napas
Ø Lakukan suction.
R/ untuk mengeluarkan faktor penyebab obstruksi.
Ø iv. broncholitic, pemasangan entotracheal tube.
R/ untuk mengeluarkan secret
2)        Breathing
a)          Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak napas akibat spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi paru.
b)         Diagnosa
Ketidakefektifan  pola napas b/d spasme otot bronkus.
c)          Intervensi
Ø Kaji frekuensi napas
R/ untuk mengetahui kelainan pada saluran pernapasan.
Ø Berikan posisi semifowler
Ø Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan
R/ Untuk menurunkan hipoksia cerebral
Ø Pemberian bronkodilator
R/ Mengatasi bronkospasme.

3)        Circulation
a)          Pengkajian
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Gelisah, pusing
b)         Diagnosa
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri
c)          Intervensi :
Ø  Kaji kulit pucat, dingin atau lembab,catat kekuatan nadi .
R/penurunan curah jantung di buktikan oleh penurunan   perfusi kulit dan penurunan nadi.
Ø  Pertahankan kepatenan kardiovaskular. Berikan cairan IV.
R/ meningkatkan volume tekanan darah saat terjadi penurunan tahanan cardiovaskular .
Ø  Pemberian epinefrin
R/ memengaruhi tekanan darah.
4)        Disability
a)          Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan kesadaran. Diakibatkantransport oksigen ke otak yg tidak mencukupi ( menurunnya curah jantung –hipotensi) yang akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan otak.Pasien dengan syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
5)        Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.

b.        Secondary Survey
1)        Catat adanya drainase dari mata dan hidung
2)        Inspeksi lidah dan mukosa oral
3)        Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
4)        Kaji peristaltik saluran GI
5)        Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
6)        Pemeriksaan fisik


                                                              DAFTAR PUSTAKA
  
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 2004. Manual of Critical Care Nursing. Mosby Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.
Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I.Penerbit Erlangga : Jakarta.