LAPORAN PENDAHULUAN
A.
DEFINISI
Syok anafilaktik adalah
syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi alergi. (Prof.Dr. H.
Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Shock is a multisystem
disorder that involves inadequate tissue perfusion and altered metabolism.
Anaphylactic shock is a potentially life-threatening situation. It is the
result of an exaggerated or a hypersensitivity response to an antigen (or
allergen).(Pamela L. Swearingen, Manual of Critical Care Nursing, Hal.624).
Syok anafilaksis adalah
suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas generalisata yang
diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan
permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7,
hal 144).
Syok anafilaktik adalah
suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau cara lain. ( Arif
Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
B.
ETIOLOGI
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui
mekanisme IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor
fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan
sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme
dan Obat Pencetus Anafilaksis
1.
Anafilaksis
(melalui IgE)
a.
Antibiotik
( penisilin, sefalosporin)
b.
Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
c.
Obat
(glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
d.
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
e.
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
2.
Zat
pelepas histamin secara langsung :
a.
Obat
(opiat, vankomisin, kurare)
b.
Cairan
hipertonik (media radiokontrks, manitol)
c.
Obat
lain (dekstran, flouresens)
d.
Aktivasi komplemen
e.
Protein
manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
f.
Bahan
dialisis
g.
Modulasi
metabolisme
h.
Asam
asetilsalisilat
i.
Antiinflamasi nonsteroid
C.
PATOFISIOLOGI
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan
antigen terhadap sistem imun yang menghasilkan dreganulasi sel
mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur
yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi
IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan
serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik.
Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin.
Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan
tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan
kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan
pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas
Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara
yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui
tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang
paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh
protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel
pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel
makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody
immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel
precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan
antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor
spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru
yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen
yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses
sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang
sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah
terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan
dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator
endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet
Activating Factor (PAF).
Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu
sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut
fase akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka
biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel
mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di
membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi
asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen
anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih
lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam
tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE
dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis.
Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan
histamine secara langsung, narkotika,
obat pelemas otot :
d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika
: vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya
yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a.
Terjadinya
vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b.
Terjadinya
kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak
nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus
menyebabkan diare.
c.
Terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran
cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus,
epiglottis dan laring.
d.
Pada
jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e.
Terjadinya
spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat
menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada
fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan
dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan
pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
D.
MANIFESTASI
KLINIS
Gejala dan tanda anafilaksis
berdasarkan organ sasaran:
1. Umum : Lesu,
lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
2. Prodormal : Rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung
dan Palatum.
3. Pernapasan :
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b. Laring
: rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
4. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,
hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik,
atau tanda-tanda infark miokard
5. Gastrointestinal : disfagia,
mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai
darah, peristaltik usus meninggi.
6. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas
7. Mata : gatal, lakrimasi
8. Susunan saraf pusat : gelisah,
kejang
E.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik,
maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
1.
Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan,
untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya
hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan
efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1
: 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
2.
Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E
menurun setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi
imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra
vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam
kehidupan.
3.
Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti
Ig E terpapar oleh antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari
derajat spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada
beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada
pelepasan histamin.
4.
Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur
dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen
berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita.
Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan
serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini
mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
5.
Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan
peningkatan jumlah .
F.
PENATALAKSANAAN
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali
diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal
ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis
berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila
epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal
0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan
bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang
pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan
imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan
inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk
mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan
kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah
terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan dalam
memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
a.
Sistem
pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b.
Sistem
kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem
pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu
diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian
pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok
anafilaksis.
1. Sistem pernapasan
a. Memelihara saluran napas yang memadai.
Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas
baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema
laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah
beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila
saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk
bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang
berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan
punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk
ke rumah sakit.
b. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting
baik pada gangguan pernapasan maupun pada kardiovaskular.
c. Bronkodilator
diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala
asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan
dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15
menit.
2. Sistem Kardiovaskular
a. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi
dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular.
Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid.
Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke
luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
b. Oksigen mutlak harus diberikan disamping
pemantauan sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi
asidosis metabolik.
c. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous
presure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan
menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila
bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
d. Bila tekanan darah masih belum teratasi
dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000
dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4
mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann
anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian
epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan
melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml
epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1)
Pasien
yang mendapatkan obat atau
dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering
sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi
reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi
agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian
amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
2)
Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1dangan
AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya
penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2seperti simetidin
(300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan
diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
3)
Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada
pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang
kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat
bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama.
Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai
memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid
ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
G.
KOMPLIKASI
Komplikasinya meliputi :
1.
Henti
jantung (cardiac arrest) dan nafas.
2.
Bronkospasme
persisten
3.
Oedema
Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
4.
Relaps
jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
5.
Kerusakan
otak permanen akibat syok.
6.
Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7.
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan
kematian. (Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).
H.
PATHWAYS
I.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a.
Primary
Survey
1)
Airway
a)
Pengkajian
Adanya rasa tercekik di
daerah leher, suara serak sebab edema pada laring. Hidung terasa gatal, bersin
hingga tersumbat. serta adanya batuk, dan bunyi mengi. Ditemukan edema pada
lidah.
b)
Diagnosa
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
c)
Intervensi
Ø Kaji frekuensi kedalaman
upaya bernapas..
R/ untuk mengetahui kemampuan ekspirasi
inspirasi pasien.
Ø Buka jalan napas dengan
headtill dan chinlift.
R/ Membantu pembukaan jalan napas
Ø Lakukan suction.
R/ untuk mengeluarkan faktor penyebab obstruksi.
Ø iv. broncholitic,
pemasangan entotracheal tube.
R/ untuk mengeluarkan secret
2)
Breathing
a)
Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya
batuk dan sesak napas akibat spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi
paru.
b)
Diagnosa
Ketidakefektifan pola napas b/d
spasme otot bronkus.
c)
Intervensi
Ø Kaji frekuensi napas
R/ untuk mengetahui kelainan pada saluran
pernapasan.
Ø Berikan posisi
semifowler
Ø Berikan
tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan
R/
Untuk menurunkan hipoksia cerebral
Ø Pemberian bronkodilator
R/ Mengatasi bronkospasme.
3)
Circulation
a)
Pengkajian
Terjadi hipotensi
sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau
tanda-tanda infark miokard. Gelisah, pusing
b)
Diagnosa
Ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral b/d
penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri
c)
Intervensi :
Ø Kaji kulit pucat, dingin
atau lembab,catat kekuatan nadi .
R/penurunan
curah jantung di buktikan oleh penurunan perfusi
kulit dan penurunan nadi.
Ø Pertahankan
kepatenan kardiovaskular. Berikan cairan IV.
R/ meningkatkan
volume tekanan darah saat terjadi penurunan tahanan cardiovaskular .
Ø Pemberian
epinefrin
R/
memengaruhi tekanan darah.
4)
Disability
a)
Pengkajian
Pada
pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan kesadaran. Diakibatkantransport
oksigen ke otak yg tidak mencukupi ( menurunnya
curah jantung –hipotensi) yang akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan
otak.Pasien dengan syok
anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
5)
Exposure
Kaji
kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.
b.
Secondary Survey
1)
Catat adanya drainase dari mata dan hidung
2)
Inspeksi lidah dan mukosa oral
3)
Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
4)
Kaji peristaltik saluran GI
5)
Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
6)
Pemeriksaan fisik
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Tabrani
Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat
(critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni
: Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv.
Pusat Penerbitan
Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 2004. Manual
of Critical Care Nursing. Mosby
Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.
Greenberg. Micahael I
dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I.Penerbit
Erlangga : Jakarta.